PENGERTIAN KONSTRUKTIVISME DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN SECARA UMUM
Paradigma metodologi pembelajaran saat ini disadarai atau tidak telah mengalami suatu pergeseran dari behaviorisme ke konstruktivisme yang menuntut guru di lapangan harus mempunyai syarat dan kompetensi untuk dapat melakukan suatu perubahan dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Guru dituntut lebih kreatif, inovatif, tidak merasa sebagai teacher center, menempatkan siswa tidak hanya sebagai objek belajar tetapi juga sebagai subjek belajar dan pada akhirnya bermuara pada proses pembelajaran yang menyenangkan, bergembira, dan demokratis yang menghargai setiap pendapat sehingga pada akhirnya substansi pembelajaran benar-benar dihayati.
Pembelajaran menurut pandangan konstruktivisme adalah : “ Pembelajaran dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pembelajaran bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pembelajaran itu dan membentuk makna melalui pengalaman nyata (Depdiknas,2003 : 11)
Proses interaksi siswa dapat dibina dan merupakan proses pembelajaran, seperti yang dikemukakan oleh Corey (1986) dalam Syaiful Sagala (2003:61) dikatakan bahwa : “pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu” Selanjutnya Syaiful Sagala menyatakan bahwa pembelajaran mempunyai dua karakteristik, yaitu : “Pertama, dalam proses pembelajaran melibatkan proses berpikir, Kedua, dalam proses pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa, yang pada gilirannya kemampuan berpikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri” (Syaiful Sagala,2003,63).
Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center). Guru dituntut untuk menciptakan suasana belajar sedemikian rupa, sehingga siswa bekerja sama secara gotong royong (cooperative learning).
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Dalam teori ini, penekanan diberikan kepada siswa lebih dari pada guru. Hal ini karena siswalah yang berinteraksi dengan bahan dan peristiwa dan memperoleh kepahaman tentang bahan dan peristiwa tersebut. Mc Brien & Brandt (dalam Isjoni,2007) menyebutkan konstruktivisme adalah satu pendekatan pengajaran berdasarkan pada penyidikan tentang bagaimana manusia belajar.
Tobin dan Timmons dalam Remsey, (1996) menegaskan bahwa pembelajaran yang berlandaskan pandangan konstruktivisme harus memperhatikan empat hal yaitu (1) berkaitan dengan awal pengetahuan awal siswa (prior knowledge), (2) belajar melalui pengalaman (experiences), (3) melibatkan interaksi sosial (social interaction), (4) kepemahaman (sense making).
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita itu adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, Von Glasersfeld dalam sardiman,A.M. (2007 : 37) menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan yang ada, tetapi pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Kebanyakan akhli berpendapat setiap individu membina pengetahuan dan bukannya hanya menerima pengetahuan dari orang lain. Teori ini berkembang dari teori Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori kognitif yang lain seperti teori Bruner, Slavin dalam Trianto,(2007).
Revolusi konstruktivisme mempunyai akar yang kuat dalam sejarah pendidikan. Perkembangan konstruktivisme dalam belajar tidak terlepas dari usaha keras Jean Piaget dan Vygotsky. Kedua tokoh ini menekankan bahwa perubahan kognitif kearah perkembangan terjadi ketika konsep-konsep yang sebelumnya sudah ada mulai bergeser karena ada sebuah informasi baru yang diterima melalui proses ketidak seimbangan (disequlibrium). Selain itu, Jean Piaget dan Vygotsky juga menekankan pada pentingnya lingkungan sosial dalam belajar dengan menyatakan bahwa integrasi kemampuan dalam belajar kelompok akan dapat meningkatkan pengubahan secara konseptual (Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, 2007:117).
Menurut Piaget (dalam Suparno:2000), pengetahuan terbentuk berdasarkan kektifan orang itu sendiri dalam berhadapan dengan permasalahan, bahan, atau lingkungan yang baru. Hal ini berarti dalam membentuk pengetahuannya, orang itu sendiri yang membentuknya, sedangkan proses terbentuknya pengetahuan baru menurut Piaget adalah melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan terbentuknya struktur pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan yang sudah ada, sedangkan akomodasi adalah proses menerima pengalaman baru yang tidak sesuai dengan pengetahuan lama sehingga terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium). Untuk mencapai keseimbangan, struktur pengetahuan lama dimodifikasi untuk menampung serta menyesuaikan dengan pengalaman yang baru muncul tersebut. Terjadinya keseimbangan ini menunjukkan adanya terjadi peningkatan intelektualnya.
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan paham konstruktivisme. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Strategi pembelajaran kooperatif (cooperatif learning) merupakan strategi pembelajaran kelompok yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dan dianjurkan para akhli pendidikan untuk digunakan Slavin dalam Wina Sanjaya, (2008:242) mengemukakan dua alasan, pertama, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua, pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan. Dari dua alasan tersebut, maka pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang dapat memperbaiki sistem pembelajaran yang selama ini memiliki kelemahan.***
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
PEMBELAJARAN IPA YANG BERSIFAT KONSTRUKTIF DI SEKOLAH DASAR
Setidaknya ada lima cakupan yang harus dipelajari dalam pelajaran IPA di sekolah dasar. Keempat cakupan tersebut adalah:
1) Konsep IPA terpadu
2) biologi
3) fisika
4) ilmu bumi dan antariksa
5) IPA dalam perspektif interdisipliner
Sampai saat ini, konten sains bagi kebanyakan guru diberikan melalui metode ceramah dan kegiatan pembuktian di laboratorium, dengan sedikit fokus terhadap pemberian pengalaman dalam melakukan penelitian atau aplikasi IPA dalam konteks teknologi.
Hurd (1998) yang menyatakan bahwa orang yang dinyatakan melek sains memiliki 3 ciri sebagai berikut:
(1) dapat membedakan teori dari dogma, data dari hal-hal yang bersifat mistis, sains dari pseudo sains, bukti dari propaganda dan pengetahuan dari pendapat.
(2) mengenal dan memahami hakikat IPA, keterbatasan dari saintifk inkuiri, kebutuhan untuk pengumpulan bukti.
(3) memahami bagaimana cara untuk menganalisis dan memproses data.
Untuk menjadi orang yang melek sains ini diperlukan cara pengajaran yang berisfat konstruktif. Ciri pembelajaran yang bersifat kosntruktif ini dapat dibedakan dengan pembelajaran yang bersifat tradisional dengan ciri-ciri sebagai berikut:
lebih memahami dan merespon minat, kekuatan, pengalaman dan keperluan siswa secara individual.
senantiasa menyeleksi dan mengadaptasi kurikulum.
berfokus pada pemahaman siswa dan menggunakan pengetahuan sains, ide serta proses inkuiri.
membimbing siswa dalam mengembangan saintifik inkuiri.
menyediakan kesempatan bagi siswa untuk berdiskusi dan berdebat dengan siswa lain.
secara berkesinambungan melakukan asesmen terhadap pemahaman siswa.
memberikan bimbingan pada siswa untuk berbagai tanggung jawab dengan siswa lain.
mensuport pembelajaran kooperatif (cooperative learning), mendorong siswa untuk bekerjasama dengan guru sains lain dalam mengembangkan proses inkuiri.
C. PANDANGAN KONSTRUKTIVISME TENTANG BELAJAR IPA
1. Belajar sebagai perubahan konsepsi
Menurut pandangan konstruktivisme keberhasilan belajar bergantung bukan hanya pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. Belajar melibatkan pembentukan “makna” oleh siswa dari apa yang mereka lakukan, lihat, dan dengar (West & Pines, 1985). Jadi pembentukan makna merupakan suatu proses aktif yang terus berlanjut.
2. Perubahan Konsepsi dalam Pembelajaran IPA
Implikasi dari pandangan konstruktivisme disekolah ialah pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke siswa, namun secara aktif dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman nyata. Jadi dalam belajar sains/IPA merupakanh proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif dari siswa.(Piaget dalam Dahar,1996), sehingga peran guru berubah, dari sumber dan pemberi informasi menjadi pendiagonsis dan fasilitator belajar siswa.
Pembelajaran dan prespektif konstruktivisme mengandung empat kegiatan inti, yaitu: (1) berkaitan dengan prakonsepsi atau pengetahuan awal (prior knowledge); (2) mengandung kegiatan pengalaman nyata (experience); (3) melibatkan interaksi social (social interation); (4) terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (sense making).
3. Pentingnya Konteks
Perlu diupayakan pembelajaran yang memungkinkan siswa dengan sadar mengubah apa yang diyakininya yang ternyata tidak konsistan dengan konsep ilmiah. Dengan kata lain informasi dan pengalaman yang dirancang guru-guru untuk siswa seharuanya koheren dengan konsep yang dibawa anak atau disesuaikan dengan pengetahuan awal siswa.
Perubahan konsepsi akan terjadi apabila kondisi yang memungkinkan terjadinya perubahan konsepsi terpenuhi dan tersedia konteks ekologi konsepsi untuk berlangsungnya perubahan itu (Posner et al., dalam West & Pines, 1985; Dahar, 1996). Ekologo konsep yang dimaksud adalah sebagai berikut; (a) Anak merasa tidak puas dengan gagasan yang dimilikinya; (b) Gagasan baru harus dapat dimengerti (inteligible); (c) Konsepsi yang baru harus masuk akal (plausible); (d) Konsepsi yang baru harus dapat member suatu kegunaan (fruitful)
D. MODEL-MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PERUBAHAN KONSEPSI
Dalam usaha meningkatkan kualitas pembelajaran IPA ahkir-ahkir ini para ahli mengembangkan berbagai model pembelajaran yang dilandasi pandangan konstruktivisme dari Piget. Pandangan ini berpendapat bahwa dalam proses belajar anak membangun pengetahuannya sendiri dan memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah (Dahar, 1989: 160). Oleh karena itu, setiap siswa akan membawa konsepsi awal mereka yang diperoleh selama berinteraksi dengan lingkungan dalam kegiatan belajar mengajar.
Konstruktivisme memberikan kesempatan yang luas bagi siswa untuk melakukan dialog dengan guru dan teman-temannya karena hal ini bisa meningkatkan pengembangan konsep dan ketrampilan berpikir para siswa. Dikenal beberapa model pembelajaran yang dilandasi kontruktivisme yaitu model siklus belajar (Learning cycle model), model pembelajaran generative (generative learning model), model pembelajaran interaktif (interactive learning model), model CLIS (Children learning in science), dan model strategi pembelajaran kooperatif atau CLS (Cooperative learning strategies). Masing-masing model tersebut memiliki kekhasan tersendiri, tetapi semuanya mengembangkan kemampuan struktur kognitif untuk membangun pengetahuan sendiri melalui berpikir rasional. Kekhasn model-model tersebut tampak pada tahapan kegiatan pembelajaran yang dilakukan.
Selanjutnya Tytler (1996: 11-17) dalam buku Materi dan Pembelajaran IPA SD menyatakan bahwa setiap model memiliki fase-fase dengan istilah yang berbeda, tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu: (a) menggali gagasan siswa, (b) mengadakan klarifikasi dan perluasan terhadap gagasan tersebut, kemudian (c) merefleksikannya secara eksplisit. Perbandingan fase-fase dari model-model tersebut tampak pada table dibawah ini.
E. CONTOH MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
Salah satu contoh yang disarankan adalah memulai dari apa yang menurut siswa hal yang biasa, padahal sesungguhnya tidak demikian. Perlu diupayakan terjadinya situasi konfik pada struktur kognitif siswa. Contohnya mengenai cecak atau cacing tanah. Mereka menduga cecak atau cacing tanah hanya satu macam, padahal keduanya terdiri lebih dari satu genus (bukan hanya berbeda species). Berikut ini akan dicontohkan model untuk pembelajaran mengenai cacing tanah melalui ketiga tahap dalam pembelajaran kntruktivisme (ekplorasi, klarifikasi, dan aplikasi)
Fase Eksplorasi
· Diperlihatkan tanah berisi cacing dan diajukan pertanyaan: “Apa yang kau ketahui tentang cacing tanah?”.
· Semua jawaban siswa ditampung (ditulis dipapan tulis jika perlu).
· Siswa diberi kesempatan untuk memeriksa keadaan yang sesungguhnya, dan diberi kesempatan untuk merumuska hal-hal yang tidak sesuai dengan jawaban mereka semula.
Fase Klarifikasi
· Guru memperkealkan macam-macam cacing dan spesifikasinya.
· Siswa merumuskan kembali pengetahuan mereka tentang cacing tanah.
· Guru memberikan masalah berupa pemilihan cacing yang cocok untuk dikembangbiakkan.
· Siswa mendiskusikannya secara berkelompok dan merencanakan penyelidikan.
· Secara berkelompok siswa melakukan penyelidikan untuk menguji rencananya.
· Siswa mencari tambahan rujukan tentang manfaat cacing tanah dulu dan sekarang.
Fase Aplikasi
· Secara berkelompok siswa melaporkan hasilnya, dilanjutkan dengan penyajian oleh wakil kelompok dalam diskusi kelas.
· Secara bersama-sama siswa merumuskan rekomendasi untuk para pemula yang ingin ber-“ternak cacing” tanah.
· Secara perorangan siswa membuat tulisan tentang perkehidupan jenis cacing tanah tertentu sesuai hasil pengamatannya.
KEUNGGULAN PENGGUNAAN KONSRUKTIVISTIK DI DALAM PEMBELAJARAN IPA SEKOLAH DASAR
Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan ide atau gagasan dan mengintegerasikan dengan hasil rekonstruksi pengetahuan yang mereka miliki dengan menggunakan bahasa siswa sendiri.
Siswa memiliki kesempatan membagi dan berdiskusi serta saling bertukar pengalaman yang berkaitan dengan mata pelajaran IPA kepada temannya.
pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasanpada saat yang tepat.
pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
Sumber :
http://www.idonbiu.com/2009/05/hakikat-pembelajaran-menurut-teori.html
http://pembelajaranguru.wordpress.com/2008/05/31/konstruktivisme-6-keunggulan-penggunaan-pandangan-konstruktivisme-dalam-pembelajaran/
http://fip.uny.ac.id/pjj/wp-content/uploads/2008/02/inisiasi_pengembangan_ pembelajaran _ipa_1.pdf)
www.geocities.com/no_vyant/Ss_inisiasi_sem2/Inisiasi_Pemngembangan_ Pembelajaran_IPA_4.doc -)
http://latipduniailmiah.blogspot.com/2009/03/pembelajaran-ipa-sekolah-dasar-sd.html
http://sahabatguru.wordpress.com/2010/01/04/strategi-pembelajaran-ipa-untuk-sekolah-dasar-evi-afifah-hurriyatim-si-trainer-makmal-pendidikan/
http://edukasi.kompasiana.com/2010/07/01/strategi-pembelajaran-ipa-dengan-pendekatan-konstruktivisme-bagi-kelas-v/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar